Konservasi Arsitektur

SEJARAH SINGKAT KONSERVASI
Pelestarian terhadap nilai-nilai penting dalam suatu bangunan bersejarah maupun peninggalan benda-benda bersejarah lainnya telah dikenal sejak zaman kuno. Contohnya di Mesir Kuno pada abad ke-3 SM, cara mencegah kerusakan salah satu patung Ramses II (1304-1237) di Kuil Abu Simbel adalah dengan membuat struktur sederhana berupa batu pendukun untuk mencegah kerusakan lebih lanjut. Lalu pada abad ke-5 SM ketika orang-orang Athena memutuskan untuk tidak membangun kuil-kuil mereka yang dihancurkan oleh bangsa Persia, namun menjaga reruntuhannya sebagai suatu peringatan.
Awal kesadaran baru gerakan konservasi sebenarnya dimulai sejak abad ke-14, tidak secara langsung terkait dengan bangunan namun pada tulisan-tulisan tentang arsitektur. Salah satu tulisan yang sangat berpengaruh adalah Deploratio Urbis oleh Fransesco Petrarch (1307-1377) yang ditulis dengan penuh kesedihan selama kunjungannya ke Roma pada tahun 1337 karena menyaksikan reruntuhan peninggalannya. Melalui tulisannya, Petrarch telah mencetuskan kebutuhan yang sangat mendesak akan pentingnya melindungi karya arsitektur.
Kepedulian pada bangunan yang memiliki nilai-nilai bersejarah dipelopori oleh para penulis arsitektur di Zaman Reinassans, seperti Leon Battista Alberti, Filarete, dan Fransesco di Giorgo Martini. Mereka menyadari tentang pentingnya pelestarian warisan budaya di masa lalu bukan hanya pada sisi fisik bangunan atau tempat (situs) tetapi juga pada nilai filosofis yang terkandung di dalamnya. Kepedulian terhadap konservasi bangunan bersejarah yang diungkapkan dalam berbagai bentuk tulisan telah menjadi dasar para pelaku praktis konservasi.

SEJARAH KONSERVASI DI INDONESIA
Di Indonesia, usaha-usaha untuk melindungi dan melestarikan tempat dari bangunan Cagar Budaya sudah dimulai sejak zaman pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1901. Pada Maret 1992, pemerintah Indonesia mensahkan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 5 tentang Cagar Budaya. Salah satu pertimbangan dalam menetapkan undang-undang tersebut adalah pentingnya kepedulian usaha pelestarian benda Cagar Budaya di Indonesia. Pengetahuan tentang konservasi di Indonesia baru mulai diperkenalkan secara integral dan melalui multi disiplin kepada masyarakat sejak kegiatan pemugaran Candi Borobodur oleh UNESCO.
Dalam prakteknya, pelestarian Benda Cagar Budaya ternyata mengalami perubahan paradigma. Hal yang paling mendasar adalah perubahan cara pandang terhadap Cagar Budaya. Pemerintah Indonesia menyadari bahwa urusan pelestarian dan pengelolaan tidak lagi menjadi tanggung jawab pemerintah sepenuhnya, masyarakat Indonesia harus turut memikul tanggung jawab pelestarian Cagar Budaya. Maka disahkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Undang-Undang No.11 Tahun 2010 memberikan ruang kepada masyarakat untuk turut bertanggung jawab dalam pelestarian (pelindungan, pengembangan, pemanfaatan) Cagar Budaya.

KONSERVASI ARSITEKTURAL
Pengertian konservasi dinyatakan dalam Piagam Burra Charter(1981) sebagai berikut: 
Conservation means all the processes of looking after a place so as to retain its cultural significance. It includes maintenance and may according to circumstances include preservation, restoration, reconstruction and adaptation and will be commonly a combination of more than one of these.

Konservasi merupakan istilah yang menjadi payung bagi semua kegiatan pelestarian sesuai dengan kesepakatan internasional yang telah dirumuskan dalam Piagam Burra Tahun 1981. Konservasi adalah segenap proses pengelolaan suatu tempat agar makna kultural yang dikandungnya terpelihara dengan baik. Dalam konteks luar, Konservasi merupakan proses pengelolaan suatu tempat agar makna kultural yang terkandung dapat terjaga dengan baik meliputi seluruh kegiatan pemeliharaan sesuai kondisi lokal. Konservasi Arsitektur adalah upaya pelestarian / pemeliharaan hal yang bersangkutan dengan dunia arsitektur, baik itu merupakan sebuah kawasan maupun didalam sebuah bangunan, dengan tujuan agar dapat melestarikan / memelihara kawasan maupun bangunan tersebut.

TUJUAN KONSERVASI
Tujuan utama mengkonservasi sebuah bangunan lama adalah mengembalikan fungsi bangunan lama sebagai sebuah sumberdaya yang berguna dan mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat modern. Tindakan konservasi atas bangunan lama harus memiliki tujuan yang jelas, yaitu kegunaan dan pemanfaatan masa sekarang dari bangunan tersebut. Tujuan lain dari konservasi adalah:
1.    Membangkitkan Semangat
2.    Menyempurnakan Proses Budaya
3.    Meningkatkan Muatan Nilai Kegunaan 

ACUAN KONSERVASI
Acuan Internasional
Acuan internasional yang penting dalam tindak konservasi bangunan bersejarah didasarkan pada Athens Charter1931 yang kemudian diperbarui pada Venice Charter1964. Burra Charter 1979 berkaitan dengan konservasi tempat-tempat yang memiliki nilai budaya dan Washington Charter 1987 berkaitan dengan konservasi untuk kota-kota dan kawasan bersejarah. Appleton Charter 1983 menyangkut tentang pengembangan bangunan bersejarah dan Nara Charter 1994 menekankan pada otensitas dan memuat uraian tentang prinsip-prinsip, perencanaan dan pelaksanaan konservasi.
Acuan Nasional
Diatur pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 secara jelas dan terperinci. Disamping Undang-Undang tersebut diterbitkan juga berbagai peraturan daerah (perda) yang terkait dengan pelestarian bangunan seperti Perda DKI Jakarta Nomor 9 tahun 1999; SK Walikota Surabaya tahun 1996 dan 1998; Surat Keputusan Walikota KDH Tk.II Semarang No. 645/50/Tahun 1992; Perda Jawa Tengah No.10 Tahun 2013; dan lain-lain.

ETIKA KONSERVASI
Etika adalah serangkaian prinsip sesorang yang digunakan untuk menetapkan apakah suatu tindakan itu baik atau buruk. Etika harus mendasari semua pihak yang terlibat dalam pekerjaan konservasi seperti pemilik bangunan, konsultan arsitek konservasi, kontraktor pelaksana konservasi, kuantitas surveyor, dan pejabat pemerintah. Dalam pekerjaan konservasi, pengambilan keputusan untuk membongkar bagian tertentu yang telah mengalami kerusakan, menaruh bahan bangunan baru, mengganti bagian bahan bangunan yang rusak, menata kembali lingkungan sekitar bangunan atau bahkan menambah unit bangunan baru, semua itu memerlukan pengambilan keputusan yang menggunakan etika.
Dalam pengambilan keputusan, Bernard Feilden secara khusus mengusulkan 7 (tujuh) pilar etika teknis konservasi. Ketujuh pilar tersebut adalah sebagai berikut:
1.    Menguasai karakter bangunan,
2.    Respek dan hati-hati,
3.    Menjaga dan memelihara,
4.    Intervensi Minimal,
5.    Selalu terkait dengan sejarah,
6. Menguasai pengetahuan tentang penguasaan bahan bangunan dan teknik pengelolaanya,
7.    Selalu mendokumentasikan sebelum, selama dan sesudah konservasi.

PRINSIP KONSERVASI
Prinsip-prinsip dasar tindakan konservasi dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu:
1.     Pemahaman Bangunan
Tindakan yang dilakukan berupa studi mendalam tentang bahan bangunan yang digunakan; sistem bangunan yang digunakan; kondisi bangunan yang ada; konteks budaya dan fisik bangunan; serta sejarah dan perubahan-perubahan yang telah dilakukan sebelumnya.
2.     Intervensi Minimal
Perubahan atau intervensi yang minimum bertujuan untuk menjaga sebanyak mungkin bahan bangunan asli. Tindakan konservasi yang benar harus memberi prioritas utama pada usaha memaksimalkan baik tampilan maupun volume bangunan asli. Menurut Bernard M. Feilden dan Jukka Jokihelto, nilai otensitas bangunan Cagar Budaya meliputi 4 (empat) aspek utama, yaitu:
a.    Nilai Keaslian Bahan
b.    Nilai Keaslian Desain
c.    Nilai Keaslian Teknologi Pengerjaan
d.    Nilai Keaslian Tata Letak
3.     Reversibilitas (Ganti Ulang)
Prinsip ini didasarkan pada kesadaran bahwa tindakan konservasi sering kali harus diputuskan untuk dilakukan meskipun data-data historis bangunan awal dan teknis konservasi belum dapat diperoleh secara sempurna demi untuk menyelamatkan bangunan Cagar Budaya dari kehancuran. Prinsip reversibilitas atau ganti ulang menjadi acuan utama dimana semua usulan tindakan intervensi terhadap bangunan Cagar Budaya haruslah:
a.    Dapat dikembalikan seperti semula (jika secara teknis memungkinkan)
b.  Dapat mengakomodasi tindakan intervensi di masa mendatang (jika hal tersebut diperlukan)
c.  Tidak mengesampingkan kemungkinan akses berikutnya atas semua bukti-bukti berkaitan dengan bangunan tersebut

PROSES KONSERVASI
Tindakan proses dan teknik yang diperlukan tergantung pada kondisi bangunan Cagar Budaya yang akan dikonservasi. Tindakan konservasi juga menjadi tindakan intervensi terhadap bangunan Cagar Budaya, sekalipun bertujuan untuk mencegah kerusakan. Tindakan intervensi terjadi apabila konservasi justru mengurangi kandungan nilai-nilai budaya. Dalam sebuah tindak konservasi yang besar, sering kali terjadi beberapa tingkatan intervensi yang terjadi secara bersamaan. Terdapat 6 (enam) bentuk tingkatan intervensi yaitu:
1.     Prevensiadalah suatu tindakan bertujuan untuk melindungi bangunan Cagar Budaya dengan mengendalikan lingkungan tempat bangunan tersebut.
2.   Preservasiadalah suatu tindakan untuk menjaga seluruh keberadaan asli, isi, lokasi bangunan Cagar Budaya sama seperti keadaan asli dan tanpa perubahan.
3.  Restorasi adalah proses mengembalikan bangunan Cagar Budaya pada keadaan semula dengan menghilangkan tambahan-tambahan dan memasang komponen semula tanpa menggunakan bahan baru.
4.   Rehabilitasi adalah tindakan pendekatan penyesuaian saat bagian-bagian bangunan Cagar Budaya mengalami kerusakan atau pelapukan tetapi masih dapat dilakukan modifikasi untuk kegunaan baru bangunan tersebut.
5.  Reproduksi meliputi pembuatan tiruan aretfak asli untuk keperluan penggantian karena hilang atau telah rusak,
6.   Rekonstruksi bertujuan untuk mengembalikan sebuah bangunan Cagar Budaya atau warisan budaya lainnya sesuai dengan aslinya dengan menggunakan bahan penyusun mula-mula atau baru.
7.     Demolisi atau penghancuran.

PROSEDUR PERENCANAAN KONSERVASI
Prosedur perencanaan merupakan garis besar yang harus dikembangkan sesuai dengan kebutuhan bangunan yang akan dikonservasi. Keunikan setiap bangunan harus diprioritaskan di atas semua perencanaan tindakan konservasi. Prosedur yang harus dilakukan meliputi:
1.    Studi Kelayakan Konservasi (Non-fisik dan Fisik)
2.    Analisis Kerusakan
3.    Analisis Struktural
4.    Analisis Arsitektural
5.    Rekomendasi Konservasi
6.    Perencanaan Teknis
7.    Perencanaan Anggaran Biaya
8.    Proses Pelaksanaan Konservasi

SUMBER:
Dariyanto. 2016. Tugas Konservasi Arsitektur. https://www.scribd.com/document/329652569/TUGAS-KONSERVASI-ARSITEKTUR. Diakses 12 Maret 2019. 
Kriswandhono, A., dan Nurtjahja Eka Pradana. 2014. Sejarah dan Prinsip Konservasi Arsitektural Bangunan Cagar Budaya Kolonial.Semarang: Institut Konservasi ERMIT.

Runa, I Wayan. “Konservasi Bangunan Bersejarah – Studi Kasus Bangunan Peribadatan di Pulau Bali”, http://repository.warmadewa.ac.id/300/2/JURNAL%20UNDAGI%202016%20KONSERVASI%20BANGUNAN%20BERSEJARAH.pdf, diakses 12 Maret 2019.

Comments

Popular Posts