Hukum Pranata Pembangunan - Bab III

BAB III
STUDI KASUS

I.              Latar Belakang Kasus

Undang – Undang nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang memuat hukum tata ruang yang berisi sekumpulan asas, pranata, kaidah hukum, yang mengatur hal ikhwal yang berkenaan dengan hak, kewajiban, tugas, wewenang pemerintah serta hak dan kewajiban masyarakat dalam upaya mewujudkan tata ruang yang terencana dengan memperhatikan keadaan lingkungan alam, lingkungan buatan, lingkungan sosial, interaksi antar lingkungan, tahapan dan pengelolaan bangunan, serta pembinaan kemampuan kelembagaan dan sumber daya manusia yang ada, berdasarkan kesatuan wilayah nasional dan ditujukan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
         Perencanaan tata ruang wilayah berkaitan dengan upaya pemanfaatan sumber daya alam secara efisien dan efektif, perencanaan tata ruang mencakup perencanaan struktur dan pemanfaatan pola ruang yang meliputi tata guna lahan, tata guna air, tata guna udara dan tata guna sumber daya lainnya. Rencana Tata Ruang pada dasarnya merupakan bentuk intervensi yang dilakukan agar terwujud alokasi ruang yang nyaman, produktif dan berkelanjutan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menciptakan keseimbangan tingkat perkembangan wilayah. Dengan berbasis penataan ruang, kebijakan pembangunan akan mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang memadukan ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan (Dirjen Penataan Ruang, 2005).
            Seiring dengan pertambahan penduduk dan meningkatnya kebutuhan akan ruang, potensi akan pembangunan yang menyimpang terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) semakin meningkat. Ditambah lagi dengan konflik pembangunan yang secara realita tidak sesuai dengan rancangan yang telah disusun. Banyaknya pembangunan di Jakarta menjadi cermin akan kebutuhan ruang yang meningkat. Dengan demikian, penyimpangan pembangunan terhadap RTRW di Jakarta perlu diteliti lagi untuk mengetahui dan mencegah terjadinya penyimpangan pembangunan yang sama.

II.           Contoh Kasus

Pada kasus I terdapat pelanggaran tata ruang dan zonasi wilayah di Jakarta Pusat. Masih jalannya pembangunan hotel di Kecamatan Sawah Besar, Jakarta Pusat dan Kecamatan Senen yang penggunaan lahan nya tidak sesuai peruntukan, serta pembangunan yang tidak sesuai zonasi wilayah. Membuat pola pembangunan serta penataan kota menjadi tidak terarah. Lahan yang diperuntukan sebagai kawasan perumahan. Pembangunan hotel pada kawasan ini tentu merupakan pelanggaran tata ruang dan zonasi wilayah.
Pada kasus II terdapat perencanaan kawasan pesisir yang tumpang tindih, irisan area yang menjadi subyek dari rencana tata ruang wilayah, dan rencana pengelolaan kawasan pesisir. Konflik ini senada dengan konflik tata ruang mengenai hutan di berbagai daerah. Meskipun pada saat ini mulai dialokasikan kembali kawasan pesisir di Muara Angke sesuai dengan peruntukan lahan awal. Namun tidak terlepas dari pembangunan perumahan atau properti jenis lain yang masih menyimpang dari RTRW yang ada.
Kedua contoh kasus ini menjadi bukti akan meningkatnya kebutuhan ruang, namun belum adanya tindak tegas dari Pemerintah membuat pembangunan menjadi tidak terkendali. Oleh karena itu, Pemerintah perlu mencari solusi dalam mengoptimalkan penggunaan lahan yang minim. Kondisi dan perkembangan tata ruang di Jakarta memberi imbas terhadap persoalan kemacetan lalu lintas. Transportasi dan tata ruang merupakan 2 aspek yang saling mempengaruhi satu sama lain, karena transportasi dalam hal ini lalu lintas merupakan fungsi dari tata guna lahan.
Pembenahan transportasi di Jakarta harus sejalan dengan pembenahan mendasar atas masalah Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta. Penyimpangan tata ruang yang telah terjadi harus segera dibenahi agar tidak mengganggu dan berimbas ke faktor lain. Faktor dalam hal ini seperti faktor ekonomi dan sosial-budaya. Pengendalian akan pertumbahan penduduk di Jakarta juga dapat menjadi salah satu solusi dari pencegahan penyimpangan tata ruang. Pembangunan yang sesuai dengan RTRW juga perlu diterapkan kepada para Pengembang Properti (Property Developer) agar dicapainya tata ruang yang sesuai dengan tata ruang dan zonasi wilayah yang berlaku.

III.         Dampak Pembangunan

Peningkatan aktivitas pembangunan membutuhkan ruang yang semakin besar dan dapat berimplikasi pada perubahan fungsi lahan/kawasan secara signifikan. Euphoria otonomi daerah yang lebih berorientasi pada peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) juga memotivasi pertumbuhan penyediaan sarana dan prasarana di daerah, yang faktanya menyebabkan peningkatan pengalihan fungsi ruang dan kawasan dalam jangka panjang. Di antara kenyataan perubahan lahan dapat ditemui pada pembangunan kawasan perkotaan yang membutuhkan ruang yang besar untuk menyediakan lahan untuk sarana dan prasarana permukiman, perkantoran, perindustrian, pusat-pusat perdagangan (central business district, CBD) dan sebagainya.
Demikian halnya pada pola perubahan kawasan seperti kawasan hutan menjadi lahan pertanian atau perkebunan, yang menyebabkan penurunan fungsi hutan sebagai kawasan penyangga, pemelihara tata air, pengendali perubahan iklim mikro dan sebagainya. Perubahan fungsi ruang kawasan meyebabkan menurunnya kualitas lingkungan, seperti terjadinya pencemaran, kemacetan, hilangnya ruang publik dan ruang terbuka hijau, serta terjadinya berbagai bencana alam seperti banjir, longsor, kekeringan dan sebagainya.
Pembangunan di satu pihak menunjukkan dampak positif terhadap lingkungan dan masyarakat seperti tersedianya jaringan jalan, telekomunikasi, listrik, air, kesempatan kerja serta produknya sendiri memberi manfaat bagi masyarakat luas dan juga meningkatkan pendapatan bagi langsung dapat menikmati sebagian dari hasil pembangunannya. Di pihak lain apabila pembangunan ini tidak diarahkan akan menimbulkan berbagai masalah seperti konflik kepentingan, pencemaran lingkungan, kerusakan, pengurasan sumber daya alam, masyarakat konsumtif serta dampak sosial lainnya yang pada dasarnya merugikan masyarakat.
            Tujuan rencana tata ruang ini untuk meningkatkan asas manfaat berbagai sumber daya yang ada dalam lingkungan seperti meningkatkan fungsi perlindungan terhadap tanah, hutan, air, flora, fungsi industri, fungsi pertanian, fungsi pemukiman dan fungsi lain. Peningkatan fungsi setiap unsur dalam lingkungan artinya meningkatkan dampak positif semaksimum mungkin sedangkan dampak negatif harus ditekan sekecil mungkin. Konsepsi pembangunan wilayah dengan dasar tata ruang sangat dibutuhkan dalam upaya pembangunan industri berwawasan lingkungan.

REFERENSI:
Didit. 2012. Pelanggaran Tata Ruang Marak di Jakarta Pusat. http://harianjayapos.com/detail-1010-pelanggaran-tata-ruang-marak-di-jakarta-pusat.html. Diakses pada 7 November 2017.
Hairul Basri, Syakur, dan Aris Marta. 2013. Penyimpangan Penggunaan Lahan Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Aceh Barat. Banda Aceh: Jurnal Rona Teknik Pertanian. Vol. 6, No. 1:383-397. Diambil dari http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/RTP/article/view/911/847

Nataliasari, I Gusti Agung Ayu Made Dessy. 2015. Tata Ruang Kota di Indonesia. http://dtrb.pekanbaru.go.id/?p=1556. Diakses pada 7 November 2017.

Pemprov DKI Jakarta. 2010. Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Jakarta Tahun 2030. Jakarta: Pemprov DKI Jakarta.

Comments

Popular Posts