Peran Arsitektur Terhadap Perkotaan dan Pedesaan
Dalam praktik, berarti
arsitek harus melayani semua segmen masyarakatnya yang beragam, dan
kebutuhan-kebutuhan bersama masyarakatnya yang kolektif, yaitu (sistem) prasarana
dan saran khalayaknya. Hanya sayangnya keadaan seringkali tidak mendukung.
Misalnya ada bagian masyarakat yang tidak mungkin mmbiayai arsitek secara
langsung. Selain itu, sistem produksi pengetahuan di kota-kota kita masih
tersumbat dan lebih banyak impornya.
Dinamika pengetahuan perkotaan di kota-kota Indonesia
menghadapi dua tantangan. Pertama seringkali tidak ada bahan, tidak ada riset
yang memadai. Kalaupun ada, seringkali tidak dinamis karena tidak tampil ke
wacana khalayak, antara lain karena kurangnya ruang khalayak untuk
membincangkan hal-hal demikian. Kedua—mungkin juga antara lain karena yang
pertama di atas—wacana perkotaan Indonesia sangat didominasi oleh realitas dan
imajinasi tentang Jakarta.
Partisipasi warga, termasuk arsitek dan para sumber
daya intelektual dan kreatif lainnya, dalam proses perkotaan, tidak akan
optimal tanpa produksi dan dinamisasi pengetahuan yang terus menerus. Dosen,
peneliti dan mahasiswa, dapat melakukan produksi dan dinamisasi pengetahuan
tentang masyarakat dan kotanya ini sambil belajar dan berpraktik.
Praktik
bukanlah bagian terpisah dari proses produksi pengetahuan. Melalui praktik,
pengetahuan mengalami proses penubuhan,
sehingga menjadi know-how, dan akan mendapatkan umpan-balik untuk
saling menyempurnakan. Pada tingkat arsitektur, praktik sehari-hari
masyarakat kita bukan saja mengandung makna simbol-simbol yang abstrak, tetapi
juga kearifan teknis yang menyangkut bahan, iklim, dan kegunaan. Kita perlu
meng-alih-bentukkan (transformasi) kearifan ini ke masa kini, ke kota sekarang.
Selain melibatkan arsitek (lulusan perguruan tinggi,
anggota IAI) langsung ke dalam peningkatan hunian/kampung masyarakat, adalah
membentuk “arsitek” dari dalam komunitas kampung, dengan cara memberikan kursus
tiga bulan kepada warga kampung, misalnya kepada tukang-tukang yang sudah punya
pengalaman, tentang prinsip-prinsip dan praktik-praktik dasar perancangan.
Hal ini mungkin lebih realistis untuk membantu
melayani puluhan juta rakyat kita yang memerlukan jasa perancangan bangunan dan
penataan kampung, tetapi tidak mampu membayar arsitek lulusan universitas (dan
anggota IAI). Perlu juga dipertimbangkan kenyataan bahwa selama ini sulit
sekali mengajak arsitek untuk lebih banyak (dan lama) melayani masyarakat
miskin perkotaan. Selain karena imbalan jasa nya rendah sekali, atau bahkan
sukar diadakan, hal tersebut juga disebabkan oleh pendidikan formal yang telah
menghasilkan arsitek dengan pengetahuan dan keterampilan teknis yang jauh
melebihi apa yang sebenarnya diperlukan untuk sekedar merancang rumah sederhana
dan menata kampung.
Kesimpulannya:
Masyarakat
perkampungan kota itu mencapai mungkin hingga 70-80 % dari penduduk kota-kota
kita. Ini jumlah yang sangat menantang dan menggiurkan untuk menjadi ladang
pengabdian maupun pekerjaan professional. dominannya
kota sebagai tempat dan wujud arsitektur, dan sebagai tujuan arsitektur
mengabdi, sudah sekarang dan lebih-lebih di masa mendatang. Membangun kota
adalah kegiatan manusia yang paling banyak menguras energi dan sumber daya
alam, yang untuk masa depan sangat menjadi masalah dan karena itu memerlukan
inovasi yang banyak dan menerobos sekali. Kota, lebih daripada sekedar konteks untuk perancangan
arsitektur, adalah dasar eksistensial arsitektur. Arsitektur tidak pernah milik
pribadi semata-mata. Ia selalu milik bersama, setidaknya secara visual,
digunakan bersama-sama, setidaknya pada bagian luar dan/atau secara simbolik Karena
itu, mempererat kembali hubungan antara arsitektur dan kota adalah strategi
pertama untuk membuat arsitektur bermakna bagi kemanusiaan.
SUMBER:
Comments
Post a Comment